Konichiwaaa!

Welkom To Cheeza's World! Does anybody have known about it?

Kamis, 25 September 2008

Sakura Rythm: Suzuki Shoui

Posting kali ini Chee buat berdasarkan request temen-temen Chee.

Ada satu tokoh di dalam novel Chee, Suzuki Shoui (gambar tokohnya Chee muat jadi header blog ini), yang emang kayaknya punya banyak penggemar (malah lebih banyak daripada si tokoh utama).
Jadi Chee muat aja cuplikan dari dalem novel Chee di blog ini.

Keep going!



Taken from chapter: Kebangkitan Marga Akai

Suzuki Shoui menguap kecil saat pertemuan antar pengikut berlangsung. Malam sudah sangat larut, namun akhir pertemuan yang dinanti-nanti tak kunjung datang. Suzuki tak suka terlibat dalam pembicaraan yang rumit dan membosankan. Ia lebih memilih untuk tidur di rumahnya, daripada menghadiri rapat-rapat semacam ini.

Ia menengok ke depan, dan melihat Haga sedang membicarakan sesuatu—ia tak paham isinya. Uapan kecil keluar dari mulutnya, yang disertai setetes airmata di sudut matanya. Suzuki menerawang ke luar kertas kasa jendela, yang menampilkan bayangan kelopak bunga yang gugur dari putiknya.

Akhirnya Suzuki keluar dari dari dojo dengan alasan ke kamar kecil—meski sebenarnya ia takkan kembali sebelum pertemuan itu selesai. Saat wangi kayu cedar di selasar menyergapnya, Suzuki merasa bebas dari semua tekanan rapat. Ia melangkahkan kakinya ke taman barat, tempat yang jauh dari dojo, sehingga takkan ada seorang pun yang tahu kalau ia membolos dari pertemuan itu. Hujan sakura di taman barat juga salah satu alasannya. Setiap kali musim semi tiba, pohon-pohon ume, dan sakura akan merekahkan bunga-bunganya, menawarkan keindahan yang tak terelakkan. Suzuki tak akan melewatkan musim semi tanpa datang berkunjung ke taman itu.

Aroma lembut menggelitik hidung, ketika angin menerbangkan kelopak-kelopak bunga di atas kepala Suzuki. Pemuda itu hanya tersenyum lembut, sambil menengadahkan tangannya ke atas, berusaha menyentuh serpihan bunga yang melayang-layang. Namun pandangannya agak meredup, ketika tak ada satupun kelopak bunga yang menyentuh tangannya.

Tak ada yang mau menyentuhku. Semua sama saja, batinnya, seraya menarik tangannya kembali. Ia memandangi telapak tangannya yang putih—nyaris pucat.

Ia teringat akan masa kecilnya: bagaimana orang-orang memandanginya dengan pandangan jijik, menghina, dan memukulinya. Namun kini, dadanya sudah tak lagi merasa sakit seperti waktu itu. Sudah tak ada kesesakan atau kesedihan yang tersisa. Yang ada hanya kekosongan dan kebencian. Semuanya telah luruh bersama dengan airmatanya.

Kenangan-kenangan samar yang terjadi semasa kecilnya mengalir bersamaan dengan waktu, meliputi pandangan matanya yang kosong dan dingin.

Semasa kecilnya, ia adalah anak seorang ksatria kelas rendah yang mengabdi pada marga Kusanagi di benteng Hirai. Saat itu namanya belum menjadi Suzuki Shoui. Nama itu adalah nama pemberian orang-orang, ketika ia telah menjadi samurai Shinsengami. Shoui disusun dari kanji “ya” yang dibaca “shou” dari kata hidup, dan “i” dari kata bergantung. Dipanggil begitu karena ia adalah satu-satunya yang bertahan hidup di hari pengankatannya sebagai seorang samurai Shinsengami--yan lainnya mati di ujung pedangnya. Sedangkan Suzuki adalah nama pemberian Shuuga, ketika ia diangkat sebagai sebagai anggota Shinsengami. Ia bahkan tak bisa mengingat siapa nama lahir yang diberikan oleh orangtuanya. Nama itu telah terbuang jauh, bersamaan dengan jati diri yang tak bisa dipertahankannya. Lagipula rasanya mustahil mengingatnya kembali, karena bagaimanapun kerasnya Shoui mencoba, yang muncul di benaknya hanyalah wajah orangtuanya, yang tengah memanggil sebuah nama yang tak dapat terdengar jelas.

Karena saat itu para samurai memiliki kepercayaan kuat tentang keterikatan hubungan darah dan keturunan, ayahnya mendidik Suzuki dengan sangat keras, agar ia bisa menjadi seorang samurai yang lebih baik darinya, sehingga martabat leluhur keluarganya bisa terangkat. Suzuki sangat mengagumi ayahnya itu, dan menjadikannya sebagai sosok pujaan.
Ia mengikuti perang untuk pertama kalinya pada usia kesebelas, dan meraih prestasi yang cukup memuaskan. Petinggi samurai yang tertarik dengan kemampuannya segera mempekerjakannya di benteng.

Namun tampaknya para dewa membenci kesuksesan dirinya, dan menakdirkannya hidup dalam kesedihan. Suzuki melihat dengan mata kepala sendiri, ketika ayahnya dipenggal oleh musuh, dan kepalanya dipertontonkan di depan umum. Suzuki kecil yang dirasuki amarah menyerang pengawal musuh seorang diri, tanpa memedulikan fakta, kalau kemampuan berpedangnya belum sehebat sekarang, dan harus melawan perpuluh-puluh samurai dewasa. Namun setelah tertangkap, para pengawal itu tak langsung membunuhnya, melainkan memotong ikatan rambutnya, dan menginjak-injaknya seperti sampah di depan muka anak itu.

Seharusnya Suzuki sudah bunuh diri saat itu. Namun tangannya gemetaran, saat membayangkan pedang pendeknya meracuti usunya satu persatu. Ia takut mati, dan belum mau mati. Ia bertanya-tanya, apa yang akan ia hadapi kelak, saat matanya terpejam? Kehidupan lagi kah? Atau tanah murni yang sering disebut-sebut sebagai nirwana itu?
Samurai-samurai itu membawa Suzuki ke benteng mereka sebagai tahanan, dan menyiksanya habis-habisan. Mereka mengira, Suzuki tahu sesuatu tentang rahasia klan Kusanagi, karena ia mengabdi di sana. Namun pada kenyataannya, Suzuki hanyalah seorang anak lelaki yang baru saja menginjak masa remajanya. Sebagai samurai muda pun, ia belum dibebani tanggung jawab besar, sebagaimana yang dilakukan oleh komandan pasukan. Sungguh samurai-samurai yang bodoh. Di dalam hati, Suzuki tertawa melihat kedunguan mereka diperlihatkan secara terang-terangan pada anak buah musuhnya.

Tetapi tawanya tak bertahan lama. Tubuhnya dibuat remuk redam oleh para penginterogasi. Kedua tangannya dipasak ke atas tubuhnya, dan kedua kakinya disatukan dengan ikatan tali. Setelah itu, mereka menelanjanginya, lalu memukuli wajahnya, tubuhnya, dan bagian pribadinya.

“Bicara! Atau kami akan melukaimu dengan lebih kejam lagi!” seru salah seorang penjaga.
“Aku tak punya apapun untuk dibicarakan,” suara Suzuki bergetar karena menahan rasa sakit. Namun wajahnya yang belum matang terlihat begitu tabah menghadapi siksaan yang bertubi-tubi.

Belum lama ia selesai bicara, perutnya telah ditendang oleh penjaga tadi. Ia bisa mendengar bunyi berderak, seolah-olah sebuah benda telah patah menjadi beberapa bagian. Segera saja ia tahu, kalau yang patah tadi adalah tulang iganya.

Selama beberapa hari, Suzuki tetap bertahan di ruangan itu, tanpa makan dan minum. Bau kotoran yang luar biasa menyengat memenuhi ruangan itu, sehingga para samurai yang masuk harus menutupi hidung dan mulutnya dengan saputangan berparfum, sebelum mereka melanjutkan kesenangan mereka menyiksanya.

“Dia tetap tak mau bicara, meskipun kita sudah memukulinya,” ujar penjaga yang lain. “Apa siksaan ini belum cukup untuk membuatnya bicara?”
“Dia masih anak-anak, kalau kita lakukan hal ini lebih jauh lagi, ia bisa mati kapan saja.”
“Bukankah lebih baik begitu? Sepertinya dia memang tak tahu apapun tentang rahasia marganya.”
“Memang.”
“Maafkan kami, nak.” Seseorang di antara mereka menghampiri Suzuki, lalu mengangkat tinggi-tinggi naginata yang ada di tangannya. “Seharusnya kau mati lebih awal, tanpa menderita seperti ini.”
Suzuki sudah berpikir akan mati, saat seorang penjaga akan menusukkan pedangnya ke perutnya untuk mengoyak ususnya. Secara tak terduga, seorang pria datang, dan berteriak pada para samurai penyiksa itu.
“Pasukan Kusanagi menyerbu pos perbatasan!” Serunya. “Orang-orang itu di bawah kepemimpinan Seigiri!”

Telinga Suzuki mendingin ketika mendengar nama-nama yang tak asing itu disebutkan. Aku akan segera selamat.. pikirnya. Senyuman tipis yang penuh kemenangan mengembang di wajah mungilnya yang lebam dan penuh darah.

Segera saja naginata yang ada di tangan samurai itu terjatuh. Mereka meninggalkan ruangan itu, mempersiapkan peralatan perangnya untuk menghadapi pasukan Kusanagi.

Dari ruangannya yang tak tertutup, Suzuki bisa mendengar suara-suara ramai yang memulai peperangan. Genderang yang bertalu-talu di kejauhan, teriakan perang yang gagah berani, dan suara derap langkah kaki beratus-ratus orang. Ah... seandainya tulangnya tak patah, dan ia berada di sana. Di dalam hatinya, ia berharap, pasukan dari pihaknya akan menang, dan menolongnya dari sana.

Harapannya yang pertama terkabul. Pasukan Kusanagi berhasil mengambil alih pos perbatasan tersebut. Namun tidak untuk yang kedua. Alih-alih menyelamatkannya, orang-orang itu justru membakar pos perbatasan itu tanpa mendudukinya terlebih dahulu.

Suzuki tahu, tak akan ada orang yang akan mendengarnya, meskipun ia berteriak sekuat mungkin. Dengan bermodalkan keberanian dan kesabaran, Suzuki berusaha keras untuk meraih naginata yang terjatuh itu di dengan kakinya. Setiap otot kakinya mengejang untuk memanjang, Suzuki merasakan perasaan sakit yang luar biasa di dada dan tulang pinggulnya. Akhirnya ia berhasil juga meraihnya dengan jari kaki, lalu dengan tenaganya yang tersisa ia mengangkat kakinya sedemikian rupa, sehingga tubuhnya bisa menekuk, dan naginata tersebut bisa diraihnya.

Dalam perjuangannya memotong tali, Suzuki membayangkan berbagai hal menyenangkan yang akan menyambutnya jika ia tetap hidup. Ia berusaha keras mengulang ingatannya tentang ibu, saudara-saudara perempuannya yang cantik dan masih muda, dan ayahnya yang telah tiada. Betapa sengsaranya mereka, jika harus hidup tanpa laki-laki yang mengayomi mereka. Jika kakaknya menikah kelak, siapakah yang akan memberi mas kawin? Selamanya tak akan ada pakaian sutra untuk mereka. Hidup miskin dan dihujani ejekan, karena putranya mati dengan tidak terhormat di kubu lawan. Ia harus bertahan hidup, dan untuk itu ia harus berhasil melepaskan diri dari sini.

Pikiran tentang keluarganya ternyata membuahkan keberhasilan besar dalam pelarian ini. Tali pun terkoyak, dan Suzuki ambruk ketika, kehilangan tenaga besar yang tadi menggerakkan tubuhnya. Ia meringis pelan, lalu menggigit bibirnya sendiri untuk menahan kesadarannya. Setelah yakin dirinya cukup kuat untuk berjalan, ia lari sekuat tenaga dari ruangan itu, menyusuri lorong sempit yang membingungkan, dibimbing dengan cahaya yang menyelinap masuk di antara asap pekat dari pembakaran. Begitu kaki Suzuki menginjak permukaan tanah—yang serasa tak disentuhnya selama beberapa tahun—yang menjadi lumpur karena bercampur dengan genangan darah, Suzuki kehilangan kesadarannya. Ia hanya ingat tangan-tangan besar yang mengangkutnya ke atas kuda, bersamaan dengan teriakan yang terdengar seperti, “Anak ini samurai dari marga kita!” atau “Dia putra si anu—Suzuki juga tak bisa mengingat nama ayahnya—dia masih hidup!”

Begitu bangun, ia sudah berada di sebuah ruangan di benteng Hirai. Tubuhnya penuh dengan balutan perban, sehingga ia sulit menggerakkan anggota tubuhnya. Tampaknya seseorang telah mengobatinya dengan seksama, dan merawatnya dengan begitu hati-hati.
“Apa yang terjadi?” itulah kata-kata pertama yang keluar dari mulut Suzuki di pagi itu, saat ia merasa dilahirkan kembali sebagai sebuah kepompong ulat sutra tanpa melalui Nirwana. Namun ia tak yakin ia benar-benar bereinkarnasi, saat melihat besar tubuhnya sama dengan wanita yang ada di samping futonnya. Ia memang masih hidup.

Pelayan yang duduk di sebelahnya itu terlihat tak terkejut melihat kesadaran anak laki-laki itu. Ia berkata, “Ah, kau sudah sadar rupanya. Jangan bergerak dulu. Diam di tempat tidurmu, aku akan pergi sebentar untuk memberitahu Tuan Seigiri.”

Aku belum mati. Tapi mungkinkah jiwaku terlepas, dan hinggap ke tubuh orang lain yang sekarat? Jika iya, pasti ini adalah tubuh seorang pejabat di marga Kusanagi, sampai-sampai Tuan Seigiri mau menemuinya langsung. Tetapi saat Suzuki menatap tangan yang terkulai, ia yakin tangan itu memang miliknya. Kulitnya yang pucat bagai salju itu mungkin akan dianggap menggairahkan oleh pria. Seolah-olah ia telah tinggal dalam waktu lama di kamar dalam sebuah kastel, yang mana hihuni oleh wanita-wanita bangsawan dan dayang-dayangnya.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara derak halus di depan kamarnya, dan melihat seorang pria paruh baya berwajah lembut memasuki ruangan. Sudah beberapa kali Suzuki melihat wajah pria itu—atau lebih tepat disebut mencuri lihat—di dalam beberapa kesempatan. Tak salah lagi, orang itu memang sang penguasa benteng!

“Nak,” Seigiri berlutut di sisi Shoui, sambil menatapnya dengan pandangan yang lembut dan sulit diartikan. “Maaf, dan terima kasih. Hanya itu yang bisa kukatakan padamu.”
Suzuki hanya menjawabnya dengan lirikan matanya, karena seluruh tubuh, termasuk lidahnya, kaku dan tak bisa digerakkan.

“Padahal kau masih begitu muda. Tetapi keberanianmu sungguh luar biasa,” Seigiri menundukkan wajahnya, dan mulai menitikkan airmata. Sekalipun samurai adalah orang garang yang bisa membunuh orang di medan perang, mereka begitu sentimentil, sehingga hal-hal sepele seperti lamaran dan pernikahan pun bisa membuat mereka menangis.

Seigiri berbicara lagi, “Kami akan merawatmu sampai kau sehat, dan memberikan imbalan uang emas kepada keluargamu. Selanjutnya, terserah padamu. Kusarankan agar kau pulang ke rumah orangtuamu. Tetapi jika kau lebih ingin menjaga perasaan mereka dan menunjukkan kehormatanmu... semua keputusan itu ada di tanganmu. Aku tak punya hak untuk campur tangan.”

Karena rambutku yang sudah dipotong?Atau karena aku gagal membawa kepala ayahku kembali? Atau karena aku sudah tak berharga lagi di mata mereka? Tampaknya semua perkiraannya benar.

Saat Suzuki sembuh dari luka-lukanya, ia memutuskan untuk pulang. Dalam bayangan terakhirnya, ia melihat ibu serta saudara-saudaranya tersenyum. Pemandangan macam apa yang akan ia lihat saat pulang nanti. Tak ada yang tahu.

Namun kehidupannya membentuk sebuah tanda tanya yang tak terjawab di benak semua orang. Pengecutkan pemuda itu, sehingga tak berani melakukan ritual bunuh diri yang dapat menghapus semua aibnya? Begitulah pertanyaan yang beredar sebagai gosip umum di benteng. Tampaknya kehormatan Suzuki telah benar-benar menguap saat itu, menutupi cerita kepahlawanannya tentang interogasi yang menyakitkan oleh sekelompok prajurit lawan. Tak hanya orang-orang benteng, bahkan keluarganya—yang paling diharapkan dan disayanginya—pun bersikap demikian. Karena tak tahan menanggung malu, beberapa lama setelah itu ibunya bunuh diri, setelah sebelumnya membunuh kakak, dan dua adik perempuannya.

Tentu saja Shoui menangis meraung menghadapi kematian mereka. Berkali-kali ia meraih pedang untuk membelah perutnya, namun kali itu juga tangannya gemetar, dan dewa kematian meninggalkannya. Sejak saat itu, Shoui tak bisa berhenti menangis. Ia berjalan di tengah keramaian kota sambil berdengung seperti lebah, mengeluarkan bulir-bulir air dari matanya yang bulat. Entah berapa minggu ia menangis, sampai akhirnya airmatanya kering dan digantikan oleh darah. Matanya perih dan lebam, sehingga Suzuki tak berani lagi menangis. Sejak saat itulah Suzuki berhenti mengeluarkan airmata—atau lebih tepat dikatakan kalau tak bisa lagi. Lama kelamaan ia sadar, kalau semua itu takkan bisa diraihnya kembali dengan meratap. Perasaannya mati, dan ia tak akan merasakan apapun; sekalipun orang lain menendangnya keluar ruangan, atau bahkan memukuli dirinya sampai ia tak bisa berkutik lagi.
Suzuki hanya membenci dirinya sendiri karena ia tetap hidup. Ia menang-gung malu selama bertahun-tahun, hidup di jalanan dengan memakan sampah. Pertama-tama, rasanya begitu buruk, sehingga ia muntah ketika makanan busuk itu masuk ke tenggorokannya. Namun rasa lapar menguasai tubuh dan pikirannya untuk waktu yang cukup lama. Saat ia sekarat karena lambungnya mengerut kosong, ia merangkak ke tempat sampah, dan memakan semuanya tanpa merasakannya terlebih dahulu.

Pada suatu hari, ia bertemu dengan sekelompok gelandangan. Eta. Kaum paling rendah yang melakukan pekerjaan kotor dan biasanya berhubungan dengan mayat. Mereka dihina oleh orang-orang; yang bahkan petani tingkat terendah pun akan meringis jijik jika berjalan di dekatnya. Mereka lewat di sampingnya, dan mengamati dirinya dengan seksama, seolah melihat makhluk aneh dari seberang lautan.

“Kau gelandangan,” ujar Eta yang terlihat paling tua di sana. “Aku belum pernah melihatmu sebelumnya.”
Suzuki tak menjawab. Ia memperhatikan orang-orang itu dalam diam, sambil memperhatikan rupa mereka. Apakah dirinya telah menjadi sedemikian memprihatinkannya, sampai para Eta pun mengira ia adalah salah satu dari mereka? Apakah penampilannya telah sama dengan mereka, dengan pakaian kumal dan berbau kulit hewan; rambut acak-acakan yang tak dipotong dalam waktu lama, sehingga beberapa sampah menempel di sana; dan kaki-kaki belepotan lumpur, yang menandakan pekerjaan mereka yang kotor. Suzuki memperhatikan tubuhnya sendiri. Mula-mula tangannya, lalu kakinya, kemudian bayangan wajahnya di pantulan air. Tak ada yang berbeda dari penampilan orang-orang itu, kecuali kulitnya yang pucat, yang kini membuatnya lebih tampak seperti orang mati daripada putri-putri bangsawan.

“Apakah dia orang baru?” Tanya orang yang lainnya.
“Ah, mungkin kehilangan harta mendadak. Akhir-akhir ini banyak orang yang jatuh miskin karena hartanya disita oleh pemerintah.”
“Anak ini juga? Bagaimana dengan orangtuanya? Tak bertanggung jawab sekali meninggalkan anak laki-laki semuda ini hidup sendirian di jalanan yang keras.”
“Semua juga sama. Dia pasti telah ditinggalkan.”
“Kasihan sekali nasibnya,” ujar Eta tua itu, lalu dengan perlahan menyentuh bahu Suzuki.
Karena lama tak pernah disentuh, kehangatan tubuh orang lain merupakan hal yang asing baginya. Dengan refleks ia menepis tangan orang itu, lalu beringsut menjauhi mereka dengan pandangan mata liar, seolah ketakutan akan sesuatu. Entah mengapa ia seolah kehilangan kesadarannya waktu itu. Ia tidak lagi merasa bisa melakukan sesuatu dengan benar lagi, meskipun hanya mengucapkan sepatah kata singkat. Mungkin saja sampah-sampah yang dimakannya membuat lidahnya lumpuh.

“Jangan takut, jangan takut. Kami tak akan menyakitimu, nak. Kami sama sepertimu, kaum yang terbuang.”

Terbuang? Benarkah aku kini sama terbuang dan sama hinanya dengan mereka?


Gerombolan gelandangan itu membawa Suzuki ke pemukiman mereka yang kumuh dan bau. Selama beberapa hari pertana Suzuki mengalami demam tinggi, yang menyebabkannya tak sadarkan diri untuk sementara waktu. Selama itu juga, perlakuan mereka terhadapnya begitu hangat, sehingga membuat Suzuki jengah. Bukan karena status sosial mereka yang dibilang menjijikkan, namun karena ia selalu teringat kepada kehangatan keluarganya sebelum mereka mati. Beberapa hari kemudian ia pergi dari desa tersebut, mencari tempat-tempat lain yang sekiranya bisa ia tinggali.

Sampai akhirnya, Shuuga menemukannya di tempat pembuangan sampah, sedang mengais-ais makanan di tengah hujan lebat. Saat itu ia bertahan hidup terlunta-lunta dengan menjadi kotoran di mata orang lain, dan tak bernyali berbicara karena keadaannya yang hina. Ia merasa heran, mengapa pria berpakaian mewah itu mau menghampirinya. Tidakkah pria itu takut akan polusi yang ditimbulkannya sebagai orang buangan? Suzuki masih menganggap semua orang sama: Tak akan ada yang keluar dari mulut mereka kecuali caci maki dan hinaan; kecuali bagi mereka yang sejenis dengannya. Eta.

Namun Shuuga berbeda dengan mereka semua. Ia mengulurkan tangannya pada Suzuki, menawarkan sepotong kue mochi rasa plum yang kebetulan di bawanya. Suzuki masih dapat mengingat dengan jelas, tangan kekar Shuuga yang tertimpa hujan, mengalirkan air di sela-sela jarinya...

Sudah sangat lama ia tak berhubungan dengan orang lain, sehingga lupa akan perasaan-perasaan lainnya. Ia sudah tak mengenal marah, sedih, kecewa, maupun gembira; semuanya seolah menjadi satu di dalam kehampaan. Ia tak bisa merasakan apapun. Yang bisa dilakukannya hanyalah tersenyum—satu-satunya ekspresi wajah yang bisa diingatnya, meski hal itu dilakukannya tanpa perasaan, sehingga tampak seperti topeng pertunjukkan Noh—dan Shuuga menyambut senyumannya dengan senyum yang lebih hangat lagi. Maka Suzuki pun belajar, kalau cara membuat orang lain senang—meskipun perasaannya sudah mati—adalah dengan tersenyum.

“Siapa namamu, nak?” tanya Shuuga, dengan bahasa yang begitu formal dan halus. Aksennya menunjukkan bahwa Shuuga berasal dari keluarga bangsawan yang terhormat.
Suzuki sudah sangat lama tak mengeluarkan suaranya, sehingga pada kalimat pertamanya, ia terdengar seperti seorang monster yang hendak menerkam pria di hadapannya. Kata-kata itu bernada pendek dan diucapkan dengan suara serak. “Shirimasen,” ujarnya—tidak tahu.
“Tidak tahu? Bagaimana bisa?”
“Lupa.”
“Orangtuamu tak pernah menyebutkannya?”
“Tak punya. Mereka mati.”
“Mati?”
“Bunuh diri. Karena aku tak mati, mereka yang mati. Itu kata semua orang.”
“Kenapa bisa?”
“Harga diri.”
Shuuga tampak keheranan, namun ia tak bertanya lebih lanjut. Ia tak peduli akan polusi orang terbuang yang hina seperti Eta muda dihadapannya, tetapi rasa jijik yang timbul di atas permukaan wajahnya muncul dalam sebuah ulasan tipis, yang mungin tak terlihat di permukaan. Bukan karena bau menyengat dari tubuh Suzuki, atau pakaiannya yang sudah berubah warna jadi cokelat. Dengan sendirinya ia sadar, bagaimana latar belakang Suzuki sebelumnya; dari kata-kata yang diucapkan pemuda itu, postur tubuhnya yang kecil namun tegap, dan luka gores pedang di tangan kirinya. Shuuga berusaha bersikap sewajar mungkin, tetapi Suzuki mengetahui hal itu. Ia tahu semua perasaan yang ada di wajah manusia, meski mereka berusaha keras menutupinya dengan perasaan lain atau kekosongan ekspresi.

“Kau punya tempat untuk pulang?” tanya Shuuga, sambil berusaha mengalihkan pikirannya.
“Mana ada tempat seperti itu.”

Di dorong oleh rasa iba dan simpati, Shuuga membawanya pulang ke Seikagahara di jantung kota Sakai. Mungkin anak ini masih mempunyai sisa-sisa kekuatannya yang dulu, yang bisa dibangkitkannya kembali. Sayang sekali jika semuanya harus terhenti begitu saja dalam usia yang begitu muda ini. Usianya baru dua atau tiga belas tahun! Dengan harapan itulah Sang Penguasa meneguhkan hatinya.

Kepada para pelayannya yang percaya, Shuuga meminta identitas Suzuki sebagai Eta dirahasiakan, karena akan menimbulkan konflik besar dalam rumah tangga. Tentu saja pelayannya merasa tak suka. Suzuki bisa melihat pelayan muda itu berjengit ketika mata mereka saling bertatapan.

“Tuanku, apakah menurut Tuan bijak memelihara anak yang merupakan kaum buangan?”
“Dia bukan sepenuhnya kaum buangan.”
“Tetapi tetap saja dia telah terkena polusi mereka. Kita harus mengadakan upacara penyucian ruangan, dan memanggil rahib suci untuk mendoakan, dan...”
“Aku tak minta pendapatmu, Kojiro! Ini perintah!”
Digertak oleh tuannya, pelayan bernama Kojiro itu lebih memilih untuk diam dan menjalankan perintah, daripada membangkang dan dipenggal atas ketidakpatuhannya.

Sejak saat itulah Suzuki menerima pelatihan keras sebagai seorang ksatria muda. Namun hal itu belum menariknya keluar dari lingkaran hinaan dan cercaan yang bersangkutan dengan ststusnya sebagai gelandangan. Para samurai senior menganggap kehadian Suzuki adalah hal yang paling memuakkan dalam rumah tangga samurai. Entah siapa yang menyebarkan kabar tersebut. Yang jelas, bau busuk biasanya menyebar lebih cepat daripada wangi yang memikat.

“Hei, benarkah kau gelandangan? Oh, tak perlu dijawab! Baumu sudah tercium dari sini!” Begitulah ejekan para samurai sebayanya.
Beberapa kali mereka berusaha mencelakai Suzuki untuk menyingkirkannya. Namun anak lelaki itu menunjukan perkembangan pesat dalam kemampuannya, sehingga tak ada orang yang bisa menang melawannya.

Suzuki hanya tersenyum saat seorang pria memakinya di hadapan umum. Tatapan pemuda itu dalam dan tenang, namun sedingin balok es. Bahkan saat salah seorang pengikut mati di tangannya, senyuman di wajahnya tak pernah berubah.

Shuuga yang tersadar akan bahaya dalam diri anak itu, segera mengambil tindakan. Walau terlalu dini, ia mengirimkan Suzuki ke ujian masuk Shinsengami—dan anak itu berhasil lolos, tanpa ada luka di tubuh kurusnya.

Hingga saat ini, Suzuki belum menemukan pelarian lain selain di pasukan Shinsengami. Semua orang yang ada di pasukan itu rata-rata memiliki masa lalu yang kelam sepertinya; juga perasaan yang telah mati saat membunuh orang. Samurai-samurai itu bahkan tak mempermasalahkan soal masa lalunya. Mereka menerimanya dengan wajar, meskipun sering kali mereka tak bisa mengartikan perasaan Suzuki.

Namun Suzuki tak mau membiarkan rambutnya memanjang. Ia memang-kasnya setiap bertambah beberapa inci, dan itu dilakukannya secara rutin. Suzuki takut, perasaannya akan ikut hidup kembali, seiring dengan harga diri yang telah ia buang melalui rambut hitamnya.



Quote From Sakura Rythm, by Namikaze Cheeza

11 komentar:

Zealloiene mengatakan...

bagus...
kayak bukan Chee yang nulis...
(nggak akan percaya kalo nggak liat sendiri)

tapi emang nggak apa dipublikasiin di web kayak gini?

MiSs d e W ii mengatakan...

becareful...haven't get the copyrights hon??

Namikaze Cheeza mengatakan...

yuph...
tapi nggak apa lah,,
asal editornya ngga tau.
lagian yang buka blog ini cuma beberapa orang aja kok ^^

huehuehue..

Arina Nurul Azizah mengatakan...

eheh chee,, pjg bgt, blm smpt bacanya aahh, hehe

ajarin bikin theme blog pake header gtu doowng...maumaumau

thx ia uda setia baca blog ina ^^

de plonk! mengatakan...

asha!!!!!!! gwe kangen banget ma loe!!!! gwe lagi di kampung neh! mu oleh2 apa?

Anonim mengatakan...

waw....serba japanese....great... :D

I love it...

mau tuker link...?? :)

====www.alviss.co.nr====

abibz mengatakan...

hemmmm ....

copy paste yah???

------------------------------

T-M mengatakan...

semangat..
terus berkarya..

kali ini mungkin plagiat..

next tulisan semoga aslinya keluar..

salam kenal..

Zealloiene mengatakan...

emang pada nggak tau ya?
ini bukan copy paste,
yang punya blog ini emang beneran penulis novel.
hahaha.

Anonim mengatakan...

hallo lam kenal dari wandhe, tau ngga yang menjelk2n negara indonesia, keterlaluan banget tuh,, masih inget ngga blognya ,, menurut anada gimana

N'cik Amoy mengatakan...

ini diangkat dari DORAMA ya??